Sabtu, 09 Oktober 2010

Meningkatkan Daya Saing Indonesia di Bidang Perpajakan

DUNIA perpajakan Indonesia kembali masuk dalam spotlight pekan lalu. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyampaikan usulan kepada Menteri Keuangan melalui suatu bahan yang diberi judul "Meningkatkan Daya Saing Indonesia di Bidang Perpajakan". Dari judulnya kita bisa menarik simpulan awal, yang disampaikan Kadin adalah serius. Setelah membacanya secara saksama, kita bisa mengambil simpulan, selain serius, usulan tersebut sama sekali jauh dari kesan cengeng, melainkan justru sangat rasional dengan latar belakang wawasan global.
Saya akan fokus pada suatu hal yang paling strategis, yaitu upaya untuk mendorong pendulum perpajakan daripajakpenghasilan(PPh)kepa-jak pertambahan nilai (PPN). Saya katakan sebagai pendulum karena beberapa dasawarsa lalu, pemikiran yang berkembang adalah mendorong perpajakan lebih banyak bersumber pada PPh dengan mengurangi beban pajak penjualan atau vari annya, yai tuPPN.

PPh di Indonesia mengalami perubahan sangat penting dalam masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang pertama. Pada masa itu, PPh pribadi mengalami perubahan tarif, yaitu dari tertinggi 35% men jadi 30%. Sementara itu, PPh badan juga mengalami penurunan tarif dari 30% menjadi 25% yang dilakukan secara bertahap.

Yang juga menarik adalah insentif kepada perusahaan yang telah go public dengan saham yang beredar di masyarakat lebih dari 40% memperoleh tambahan potongan 5% lagi, suatu jumlah yang sangat signifikan. Kekhawatiran awal mengenai akan terjadinya penurunan penerimaan pajak oleh pemerintah ternyata tidak terbukti. Perluasan wajib pajak dan perkembangan ekonomi yang relatif cepat (jika diukur dengan produk domestik bruto/PDB nominal karena pengenaan pajak juga bersifat nominal) menyebabkan penerimaan pemerintah tersebut tetap tumbuh positif.

Dalam usulan Kadin pekan la; lu, perbaikan di bidang perpajakan ini ingin dipacu lebih jauh. PPh badan diusulkan turun ke tingkat 16%, sedangkan pajak pribadi diturunkan tarifnya ke tingkat 20%. PPh di banyak negara dewasa ini memang mengalami penurunan terus-menerus sehingga jika suatu negara memiliki tarif PPh yang lebih tinggi dari negara tetangganya, akan terjadi perpindahan pajak dari negara tersebut ke negaralain dengan menggunakan mekanisme transfer pricing, yaitu mekanisme di mana suatu barang diekspor ke negara yang pajaknya lebih rendah (Singapura misalnya) dengan harga jual yang rendah, sedangkan dari Singapura ke negara lain yang menjadi tujuan akhir dikenai harga yang sebenarnya, yaitu jauh lebih tinggi. Dengan demikian, keuntungan di Indonesia (yang dikenai pajak sebesar 25%) relatif kecil, sementara keuntungannya di Singapura (melalui perusahaan yang didirikan di Singapura oleh pengusaha Indonesia tersebut) jauh lebih besar. Karena keuntungan yang di Singapura hanya dikenai pajak sebesarl7%,pa-jak yang dibayar secara keseluruhan akan lebih rendah daripada jika seluruh keuntungan dibukukan di Indonesia. Saya sering menyebut hal ini sebagai taxarbitrage. Dalam perkembangan yang terakhir ini, negara yang menerapkan tarif pajak lebih rendah adalah Hong Kong yang hanya mengenakan pajak sebesar 16%. Singapura yang mengenakan pajak 17% dalam waktu dekat akan menyamakan-nya dengan Hong Kong,yaitu 16%.

Contoh lain mengenai penurunan PPh adalah Rusia. Negara tersebut pada awalnya mengenakan PPh yang sangat tinggi sehingga banyak perusahaan menolak membayar pajak. Sebuah perusahaan migas besar di Rusia juga mengelak membayar pajak sehingga Pemerintah Rusia akhirnya memaksa perusahaan tersebut de-nganmenyetopaliranmigaskeEro-pa yang disalurkan melalui pipa. Namun revolusi perpajakan terjadi di negara tersebut di mana aturan pajak yang kompleks akhirnya disederhanakan menjadi pajak tunggal (flat tax) dengan tarif hanya 13%. Yang sangat mengejutkan, penurunan tarif pajak tersebut justru membuat masyarakat dan perusahaan merasa nyaman membayar pajak sehingga penerimaan justru naik berkali-kali lipat.

Perubahan lain yang diusulkan Kadin adalah penghapusan pajak dividen karena hal ini menyebabkan terjadinya pajak berganda. Seorang pemegang saham suatu perusahaan sebetulnya sudah membayar pajak dari perusahaan yang dimilikinya melalui PPh sebesar 25%. Akan tetapi pada saat perusa-haan tersebut membagikan keuntungan, pemegang saham tersebut masih harus membayar pajak lagi sebesar 10%. Ini berarti untuk keun tungan yangsama,pemegangsa-ham tersebut dikenai pajakdua ka-li,yairu PPh untuk keun tungan perusahaan dan PPh Dividen. Di negara lain, pajak dividen semacam ini tidak dikenakan dengan alasan untuk menghindari ter j adinya pengenaan pajak berganda. Dengan semakin banyaknya keinginan investor melakukan investasi di Indonesia, perubahan aturan pajak dividen akan menjadi insentif fiskal yang penting bagi mereka.

Sementara itu, di Singapura diberlakukan pajak untuk perusahaan induk yang disebut headquarter tax. Besarnya pa j ak antara 5 % hingga 10%, jauh di bawah 17% PPh negara tersebut dan lebih jauh lagi di bawah pajak 25% yang dikenakan di Indonesia. Keadaan tersebut memancing minat banyak perusahaan untuk memindahkan kantor pusatnya ke Singapura, termasuk pula mencatatkan sahamnya di Bursa Singapura. Jika pemerintah bersedia untuk melakukan hal tersebut di Indonesia, akan banyak perusa-haan di luar negeri yang akan memindahkan kantor pusatnya ke Indonesia dan banyak perusahaan Indonesia yang tidak perlu harus memiliki kantor pusat di Singapura.

Berbagai usulan tersebut disadari memiliki kemungkinan akan mengurangi penerimaan pajak. Oleh karena itu Kadin mengusulkan un tukmeningkatkanPPN dari 10% menjadi 15%. Dengan demikian, penurunan PPh dapat dikompensasi dengan kenaikan PPN sehingga pada akhirnya secara keseluruhan penerimaan pajak pemerintah tidakberkurang. Dengan semakin majunya sistem informasi dewasa ini dan suburnya perkembangan modem trade seperti Alfamart dan Indomaret, pengenaan PPN tersebut akan menjadi jauh lebih mudah. Ini berarti kemungkinan terkoleksinya PPN secara lebih baik menjadi lebih besar.

Dengan terjadinya pendulum perpajakan tersebut, perekonomian Indonesia menjadi semakin kompetitif dalam perekonomian global. Semoga kearifan pemerintah kembali muncul pada periode kedua kepemimpinan Presiden SBYini.
Sumber : Harian Seputar Indonesia
»»  READMORE...

Jumat, 08 Oktober 2010

Hot News: Ditjen Pajak Bakal Sertifikasi NPWP

contoh NPWP
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak berencana mensertifikasi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Tujuannya agar pemegang NPWP juga bisa mengakses infrastruktur ekonomi. Ditjen Pajak menargetkan, rencana tersebut bisa terealisasi pada 2012-2013 nanti. Sehingga, semua pemegang NPWP sudah bisa mendapatkan certificate authority (CA). "Prosesnya tak lama, tinggal memverifikasi data-data yang sudah ada, kami saat ini sedang mengkaji sistemnya," kata Direktur Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi Perpajakan Ditjen Pajak Hario Damar, akhir pekan lalu. Dengan sertifikat ini. Hario menjelaskan, para pemilik NPWP bisa mendekap sejumlah keuntungan, yakni dapat mengakses infrastruktur ekonomis seperti mengajukan pinjaman atau kredit. Jadi. "Kami akan menjadikan NPWP kita jadi CA economist. Kita mempunyai hak ekonomis di Indonesia karena kita membayar pa-jak. Secara ekonomis diakui sebagai warga negara," ujar dia.

Pengamat Pajak UI Darussalam menuturkan, rencana sertifikasi NPWP tersebut berhubungan dengan program nomor induk kependudukan atau single indentity number (SIN). Ini merupakan langkah maju Ditjen Pajak karena ke depan persyaratan apa pun semisal pengajuan pinjaman, semestinya dikaitkan dengan kepemilikan nomor pokok wajib pajak.

Beberapa negara sudah memberlakukan aturan main tersebut. Transaksi apa pun yang dilakukan oleh wajib pajak bakal terekam. Misalnya, ketika mengajukan kredit kepemilikan mobil dan rumah. Artinya, NPWP ini akan menjadi suatu kewajiban bagi semua wajib pajak. "Manfaatnya bisa meminimalisir penghindaran pajak berganda dan mendorong tingkat kepatuhan dari para wajib pajak." katanya.
»»  READMORE...